“Jujur itu... ajur” atau “jujur itu... mujur” ?
Hayo, pilih mana?
Masih
ingat pelajaran PKN kelas 2 SD? “Salah satu sikap terpuji adalah....”
Jawabannya? Salah satu dari sekian banyak sikap terpuji adalah JUJUR.
Dan untuk melakukan serta membiasakannya bukan hal yang mudah. Kalau
kata guru matematika di sekolah saya, “Bisa itu karena kalian terbiasa,
dalam hal apapun itu.” Ya, bener, bisa itu karena biasa. Kalau kita mau
jujur, kita pun harus terbiasa dengan jujur dan kejujuran dalam
kehidupan sehari-hari kita.
Hmmm, itu teori. Atau CUMA
TEORI? Buat apa sih kita jujur? La wong orang-orang di sekitar kita saja
sulit untuk jujur? Dan sistem yang beredar dan berlangsung sudah
membiasakan kita untuk berperilaku tidak jujur. Akibatnya orang-orang
yang jujur justru terkalahkan dengan mereka yang tidak jujur. Jujur?
Males deeh!
Di era yang sudah semakin maju ini, rasanya
kejujuran dianggap hal yang sangat sepele. Tidak penting. Jujur hanya
dijadikan “formalitas” belaka dan hanya untuk “bahasa keren” biar
dianggap keren. Anggapan itu ada mulai dari kalangan pedagang, pendidik
dan peserta didik, bahkan pejabat negara (yang sekarang lagi ramai,
ketahuan sih korupsinya).
Kira-kira apa ya penyebabnya?
Apa ya penyebab saat ini sangat sedikit orang yang jujur dan
membudayakan jujur? Apa ya bener-bener jujur itu susah? Kalau jujur,
bisa mati? Ah masa?
Kalau menurut pribadi (jadi boleh
kalau Mas atau Mbak nggak setuju dengan pendapat saya) penyebabnya
adalah tidak ada ketegasan dalam menghadapi ketidakjujuran yang ada.
Oke, ambil deh contoh nyata yang hampir setiap hari ditayangkan di
televisi. KORUPSI. Kalau kata guru Bahasa Indonesia di SMA, tidak jujur
dalam ulangan adalah akar dari korupsi. Jadi, korupsi erat kaitannya
dengan kata jujur.
Kita lihat banyak kasus korupsi di
Indonesia yang terkesan tidak rampung. Belum lagi dalam menjalani
hukuman “sang tersangka” mendapat remisi ini dan itu sehingga
mempersingkat masa hukuman. Hal ini jelas akan “memotivasi” orang lain
untuk ikut korupsi juga. Kenapa tidak? Tersangka jelas-jelas melakukan
korupsi, terus dipenjara. Di penjara ternyata dia mendapat pelayanan
yang mewah. Dan dibebaskan keluar masuk penjara sesuka hati. Bukan hal
yang sulit, hanya dengan berkata “wani piro?”. Enak ya? Tapi apa ya iya,
mau diterusin?
Dari sinilah orang-orang berpikir, untuk
apa kita jujur. Yang tidak jujur bisa hidup mujur, tidak ajur. Yang
tidak jujur seperti para koruptpr tetap bisa tersenyum dan bernafas lega
walau sudah berbohong pada orang lain. Rasanya lebih menyenangkan jadi
orang yang tidak jujur. Keuntungannya lebih banyak. Dan kalau ketahuan
tidak jujur pun rasanya sudah terlalu banyak orang yang “memaklumi” atau
istilahnya dikatakan “lumrah” terhadap sikap itu. (PARAH!)
Yang
kasihan dan sangat mengenaskan adalah para generasi muda saat ini. Anak
muda itu idealismenya sangat membara, berkobar-kobar dan seolah sudah
ideologinya itu sudah terpatri dalam dirinya. Anggaplah semua anak
Indonesia saat ini memiliki keinginan yang kuat untuk jujur dan sudah
membiasakan jujur dalam kehidupan sehari-hari mereka hingga akhirnya
masuklah kata “gue harus jujur” dalam kamus idealisme mereka. Setelah
lulus, mau tidak mau mereka harus terjun langsung dalam dunia kerja. Nah
di sinilah titik klimaksnya. Ternyata mereka harus menghadapi kenyataan
bahwa dunia kerja yang mereka geluti sudah berlumuran dengan kata
bohong bohong dan bohong. Bahkan sudah menjadi sistem. Mau tidak mau
juga mereka harus ikut dalam perputaran sistem itu. Ya bagaimana lagi,
ketika memasuki dunia kerja tentu posisinya masih sebagai junior yang
harus menghormati dan menuruti seniornya. Kalau tidak, si junior pun
akan kehilangan pekerjaan. Masuklah ia dalam sistem itu. Idealismenya
yang dulu? Remuk tergilas sistem! Tragis.
Inikah Indonesiaku? Jawabannya ada pada Anda!
Jika
memang jujur itu sulit karena sistemnya sudah sulit diubah, setidaknya
kita bisa meminimalisir ketidakjujuran yang ada. Berhentilah berpikir
bahwa tidak jujur itu tidak masalah dan bukan hal yang akan berdampak
besar dalam hidup kita kelak. Mungkin para koruptor yang masih bebas
“berkeliaran” itu sekarang masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa
menikmati indahnya dunia. Tapi jangan lupa teman-temanku, dunia ini
belum ada apa-apanya. Besok ada kehidupan yang lebih indah dan lebih
abadi. Dan semua akan dimintai pertanggungjawaban, kelak.
Setiap
manusia memiliki celah khilaf dalam dirinya. Begitupun diri ini.
Tulisan ini bukan untuk mendikte siapapun, hanya sebagai pengingat diri
sendiri dan syukur juga bisa mengingatkan teman-teman.
Jadi,
masih berpikir kalau jujur itu tidak enak? Bukan pendapat yang salah,
karena jujur itu bukan makanan, jadi tidak enak! Jujur itu bukan makanan
tapi sesuatu yang harus dibiasakan. Yuk, sama-sama kita jujur. Kita
bebaskan Indonesia dari sistem ketidakjujuran yang sudah menjamur!
Indonesia ada di tangan kita. START FROM OURSELF!
* copas dari FB pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar